Dalam sebuah laporan yang diterbitkan baru-baru ini, berdasarkan
tes yang telah dilakukan oleh Trends In International Mathematics and
Sciences Study (TIMSS) tahun 2003, menunjukkan bahwa para siswa SLTP kelas
dua kita, menempati posisi ke 34, jauh dibawah Singapura dan Malaysia yang
masing-masing menempati urutan pertama dan ke sepuluh, pada penilaian kemampuan
anak didik di bidang matematika.
Hal yang tidak jauh berbeda, terjadi pula pada nilai
penguasaan atas ilmu pengetahuan. Tes yang diselenggarakan dibawah payung
organisasi Association for Evaluation
of Educational Achievment International (AAEI) ini, kembali
menempatkan para siswa Indonesia pada urutan ke 36, dibawah Mesir dan Palestina
yang berada satu peringkat diatasnya. Sedangkan Negara tetangga kita, Singapura
dan Malaysia, masih menempati nomor pertama dan ke dua puluh dari 50 negara
yang ditelaah.
Realitas yang memukul dunia pendidikan kita ini, menjadi
semakin lengkap, apabila kita kaitkan juga dengan laporan dari UNDP yang
baru-baru ini dipublikasikan, dimana berdasarkan laporan, Human Development Report
2004”, tersebut dinyatakan bahwa angka
buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia mencapai 12,1%.
Ini berarti, dari setiap 100 orang Indonesia dewasa yang berusia 15 tahun ke
atas, ada 12 orang yang tidak bisa membaca. Angka ini relatif jauh lebih
tinggi, apabila kita bandingkan dengan negera-negara lain, seperti Thailand
(7,4%), Brunai Darussalam (6,1%) dan Jepang (0,0%).
Pada tahun yang sama (2004), UNDP juga telah mengeluarkan
laporannya tentang kondisi HDI (Human Development Indeks)** di
Indonesia. Dalam laporan tersebut, HDI Indonesia berada pada urutan ke 111 dari
175 negara. Posisi ini masih jauh dari Negara-negara tetangga kita, seperti
Malaysia yang menempati urutan ke-59, Thailand yang menempati urutan ke 76 dan
Philipina yang menempati urutan ke-83. Untuk kawasan Asia Tenggara, Indonesia
hanya menempati satu peringkat di atas Vietnam. Sebuah negara yang baru saja
keluar dari konflik politik yang besar dan baru memulai untuk berbenah diri
namun sudah memperlihatkan hasilnya karena membangun dengan tekad dan
kesungguhan hati.
Fenomena diatas telah memberi gambaran secara sekilas
kepada kita, tentang kondisi dunia pendidikan saat ini di tanah air, dimana
kualitas pendidikan di negera kita memang masih jauh dari yang kita harapkan.
Perlu sebuah upaya kerja keras tanpa henti dengan melibatkan seluruh stakeholders,
agar dunia pendidikan kita benar-benar bangkit dari keterpurukan untuk mengejar
ketertinggalannya sehingga mampu berkompetisi secara terhormat dalam era
globalisasi yang semakin menguat. Oleh
sebab itu reformasi pendidikan, dimana salah satunya issu utamanya adalah
peningkatan profesionalisme guru merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi dalam mencapai pendidikan yang lebih berkualitas.
Fenomena
dunia pendidikan kita saat ini
Setidak
tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat
ini, yaitu : issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai
penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana
belajar mengajar.
- Issu seputar masalah
guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru
merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian
terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal
maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas
pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan
dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam
pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru
sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan
mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai
pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan,
tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang,
para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam
proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering
dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi
panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya
sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang
mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan
dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah
kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga,
masalah distribusi guru dan masaah
kesejahteraan guru.
1. Masalah
kualitas guru
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir
sangat memprihatinkan. Berdasarkan
data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD
kita saat ini, hanya 8,3%nya yang
berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan
mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana
seorang guru sering mengajar lebih dari
satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari
pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi
tidak maksimal.
2. Jumlah
guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang,
apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah
murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih
kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih
dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses
belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak
lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar
yang maksimal.
3. Masalah
distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata,
merupakan masalah tersendiri
dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita
dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan
maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru
yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
4. Masalah
kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan
guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih
jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru
bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para
guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai
pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga
pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan
profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis
di sekolah.
b.
Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai
institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat
dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional
dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah
pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini,
beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka
panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu,
UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya,
termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu
sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada
kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU
No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari
APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun mengingat kemampuan keuangan Negara
yang masih terbatas, maka alokasi 20% ini rencananya akan dicapai dalam beberapa
tahap sesuai dengan kemampuan keuangan Negara. Dalam tahun anggaran 2004 yang
lalu, untuk sektor pendidikan baru di alokasikan sebesar 6,6%. Tahun 2005,
jumlahnya telah meningkat menjadi 9,29% dan tahun ini, rencananya akan
dialokasikan 12,01%, 14,60% untuk anggaran tahun 2007 dan berturut-turut sampai
tahun 2009 nanti, diharapkan anggaran untuk sektor pendidikan akan menjadi
17,40% dan 20,10%.
c.
Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum
dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung
pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak
swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak
akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta
secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan
sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung
akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya
memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang
keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban
tersendiri bagi ekonomi keluarga.
Belum
lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbabagai
bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak
telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam konteks ini,
pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang
di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.
d.
Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala
yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih
terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor
lain, telah menyebabkan kondisi sekolah
masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang
terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam
pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa
kendala nyata yang masih kita hadapi. Di
profinsi Jawa TImur saja, saat ini tercatat 5.373 sekolah dan 20.736 ruang
kelas yang harus diperbaiki. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.065 diantaranya
adalah SD/MI berjumlah 175, SMP/MTs berjumlah 53 SMA/MA dan SMK berjumlah 80
buah (Kompas, 14 Januari 2006).
Profesionalisme
guru sebagai sebuah tuntutan
Tidak
dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang
tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan
yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan
orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan
kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal,
termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian
tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari
perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi
setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme
menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap
layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang
harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
1.
Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah
satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi
sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan
akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan
kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara
ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi
bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional
kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya.
Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi
yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya
masing-masing.
2.
Perlunya perubahan paradigma
Faktor
lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya
perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi
ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan
diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang
harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai
fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam
konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif,
kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis.
Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses
pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek
yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual
berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar
mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar
mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional
Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
3.
Jenjang karir yang jelas
Salah
satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir
yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi
yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya
dan berbuat lebih baik.
4.Peningkatan
kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran
dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional
tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat
memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan
kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan
dipisahkan. (Angelina Sondakh)
KESIMPULAN
Profesionalisme
adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan
internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang
semakin kuat dan proses transfaransi disegala bidang merupakan salah satu ciri
utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan
dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan
semakin signifikan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan
peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan
yang memerlukan penangan lebih serius. Profesinalisme guru adalah sebuah
paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Dalam
konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas diamana secara
empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan
stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan
sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap,
berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang
ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor
internal dan faktor eksternal.
Faktor
internal lebih mengarah pada guru itu sendiri, baik secara individual maupun
secara institusi sebagai sebuah entitas
profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat
dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dapat
dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara
professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu
keahlian yang lebih spesifik.
Faktor
ekternal dalam konteks ini, lebih terkait pada bagaiamana kebijakan pemerintah
dalam menodorong dan menciptakan kebijakan maupun atmosfir yang dapat
merangsang dan melahirkan guru-guru yang profesional. Hal yang paling mendasar
berkaitan dengan masalah ini adalah issu kesejahteraan bagi para guru, agar
mereka dapat benar-benar fokus pada peran dan fungsinya sebagai tenaga
pendidik.