Oleh: Hadiyanto
It is unquestionable that teachers in Indonesia have a bundle of
jobs, so that they are called ‘a hero without emblem’. However, the appreciation of the nation to
them is quite low, especially when it is compared to that in another
nation. As a result, teacher profession
does not attrack best young Indonesians.
The attemp to improve the situation actually has been started;
however there are still many obstacles stay behind. The educational autonomy which leads to
school-based management is expected as an educational reform to create better
educational management and to change the proverb to be ‘teacher is a hero with
full of emblem.
PENDAHULUAN
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan membutuhkan waktu yang panjang,
serangkaian proses yang teratur dan sistematis, karena terkait dengan berbagai
aspek kehidupan bangsa. Kualitas
pendidikan tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman, misalnya
tuntutan otonomi pendidikan, kebutuhan masyarakat dan perlu sesuai dengan jiwa
otonomi daerah dalam mengelola sumber daya di masa depan.
Perkembangan jaman yang makin pesat membawa perubahan alam pikir
manusia, termasuk di dalamnya perubahan paradigma dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Zamroni (2000) menyebutkan
bahwa karena perubahan sosial yang sangat cepat, menuntut adanya paradigma baru
dunia pendidikan, yaitu pandangan holistik.
Artinya, pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan
bersifat global. Pandangan ini membawa
implikasi bahwa: 1) pendidikan akan menekankan pada anak didik berpikir global
dan bertindak secara lokal, 2) pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak
semata-mata bermakna ekonomis, akan tetapi meliputi keharmonisan dengan lingkungan,
solidaritas dan kebaikan untuk semua.
Dengan demikian pendidikan akan menekankan pada anak didik untuk: 1)
memiliki kemampuan mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multi
disipliner, 2) menyeleksi arus informasi yang demikian deras untuk kemudian
dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, 3) menghubungkan peristiwa yang
satu dengan yang lain secara kreatif, 4) meningkatkan kemandirian anak karena
tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, 5) menekankan pengajaran
lebih pada ‘learning how to learn’ daripada ‘learning something’.
Berdasarkan beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pendidikan,
lebih khusus lagi lembaga persekolahan, mempunyai tugas dan tanggung jawab yang
besar dan berat dalam menyiapkan peserta didik yang berkualitas. Lebih khusus
lagi guru dituntut untuk senantiasa ‘lebih up to date’ dibandingkan
dengan peserta didiknya, sehingga pengetahuan dan informasi yang mereka punyai
tetap ‘lebih’ bila dibandingkan dengan peserta didiknya.
GURU YANG IDEAL DAN EFEKTIF
Untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas, guru dituntut
untuk menjadi guru yang ideal dan efektif.
Masyarakat mengharapkan agar ‘guru’ adalah sosok yang dapat ‘digugu’ dan
‘ditiru’ (Bekal Pembina, 2000) –meskipun hal itu sekarang dipertanyakan
(Haluan, 13 September 2000), supaya menjadi panutan, guru harus senantiasa
menambah ilmu pengetahuan dan wawasan (Haluan, 27 Mei 2001), oleh karena itu,
guru harus senantiasa mendapat pelatihan (Kompas, 3 Februai 2001).
Hasil wawancara penulis dengan guru-guru sekolah dasar, sekolah
menengah di Padang, Padang Panjang, Agam, Bukittinggi serta para dosen menunjukkan
bahwa guru di Indonesia sebaiknya mampu memainkan banyak peran (multi
function), yaitu: 1) Berkualifikasi pendidikan yang memadai (sesuai dengan jenjang
pendidikan di mana guru mengajar), 2) Mempunyai visi dan misi sebagai guru, 3)
Mampu mentransfer ilmunya kepada peserta didik, 4) Mampu merubah sikap atau mempengaruhi
dan memotivasi peserta didik, 5) Sesuai dengan bidang/ kompetensinya, 6) Mampu
menguasai kelas, 7) Menguasai materi pelajaran, 8) Menggunakan metode pembelajaran
yang bervariasi, 9) Berwawasan luas, 10) Berkomunikasi dengan baik (bahasa
baku, suara, logat, dan ekspresi yang tepat), 11) Human relation yang tepat
(supel), 12) Sehat jasmani dan rohani, 13) Bermoral, 14) Berbudi pekerti luhur,
15) Bertanggung jawab, 16) Disiplin, 17) Berdedikasi tinggi, 18) Berwibawa, 19)
Berjiwa besar, 20) Berjiwa sosial, 21) Jujur, 22) Adil, 23) Arif (bijaksana),
24) Dapat dipercaya, 25) Percaya diri, 26) Tegas, 27) Sabar, 28) Ramah, 29)
Kreatif, 30) Inovatif, 31) Optimistis, 31) Mandiri, 32) Demokratis, 34)
Humoris, 35) Disenangi peserta didik, 36) Berperikemanusiaan, 37) Mampu bekerja
sama engan baik, 38) Mempunyai prakarsa, 39) Berpenampilan menarik (pakaian,
rambut, make up, serta gerak-gerik), 40) Menjadi suri teladan bagi peserta
didik.
Berdasarkan beberapa temuan di atas, sebenarnya guru dituntut untuk
menguasai kompetensi mereka sebagai guru, di samping sebagai anggota masyarakat
dan warga negara yang baik. Pada bagian
berikut akan disajikan beberapa pendapat para ahli tentang kompetensi atau
peran dan bahkan harapan yang dapat dilakukan oleh guru. Meskipun sebagian kompetensi dan peran itu
sulit dilakukan dan sangat ideal, namun itulah harapan masyarakat tentang guru.
Watten B. (dalam Sahertian, 1994)
mengemukakan empat belas peran yang dapat dilakukan guru, yaitu sebagai: 1)
Tokoh terhormat dalam masyarakat, karena guru nampak sebagai seorang yang
berwibawa, 2) Penilai, karena memberi pemikiran, 3) Sumber, karena memberi ilmu
pengetahuan, 4) Pembantu, 5) Wasit, 6) Detektif, 7) Objek identifikasi, 8)
Penyangga rasa takut, 9) Penolong dalam memahami diri sendiri, 10) Pemimpin
kelompok, 11) Orang tua/wali, 12) Pembina dan pemberi layanan, 13) Kawan
sekerja, 14) Pembawa rasa kasih sayang,
Lebih lanjut Oliva (dalam Sahertian, 1994)
mengemukakan sepuluh peran guru, yaitu sebagai: 1) Penceramah, 2) Nara sumber,
3) Fasilitator, 4) Konselor, 5) Pemimpin kelompok, 6) Tutor, 7) Manajer, 8)
Kepala laboratorium, 9) Perancang program, 10) Manipulator, untuk mengubah
situasi pembelajaran menjadi lebih baik,
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas,
Pullias dan Young (1977) mengemukakan bahwa guru itu hendaknya dapat berperan
sebagai: 1) Pembimbing (a guide), 2) Guru (a teacher), 3)
Modernis, perantara antar generasi (a bridge between generations), 4)
Model (a model), 5) Peneliti (a searcher), 6) Konselor (a counselor),
7) Pencipta (a creator), 8) Empunya kekuasaan, dalam ilmu pengetahuan (an
authority), 9) Pemberi inspirasi (an inspirer of vision), 10)
Pekerja rutin (a doer of routine), 11) Perantara (a breaker of camp),
12) Pembawa cerita (a story teller), 13) Aktor (an actor), 14)
Pembuat disain sekenario (a scene designer), 15) Pembina masyarakat (a
builder of community), 16) Peserta didik (a learner), 17) Penerima
realitas (a facer of reality), 18) Pengikut (emancipator), 19)
Pengevaluasi (an evaluator), 20) Pengubah (a conserver), 21)
Peraih cita-cita/puncak (a
culminator), 22) Manusia biasa (a person).
Dengan mengutip pendapat Davis dan Thomas,
dan menyebutnya sebagai guru yang efektif, Suyanto (Kompas, 16 Februari 2001)
mengemukakan empat kelompok ciri-ciri yang harus dilakukan oleh guru, yaitu
memiliki kemampuan yang terkait dengan: 1) iklim belajar di kelas, 2) strategi
pembelajaran, 3) pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement),
dan 4) peningkatan diri.
Dari beberapa pengamatan dan kutipan di
atas, maka dapat diketahui bahwa banyak sekali kompetensi, peran dan bahkan
harapan masyarakat tentang guru. Namun
dalam kenyataannya, penghargaan masyarakat terhadap guru, terutama di Indonesia
belumlah seperti yang diharapkan, untuk tidak mengatakan ‘masih sangat menyedihkan’.
REALITA
KUALITAS GURU
Kualitas guru sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kualitas
sistem pendidikannya, sehingga dunia pendidikan di Indonesia ternyata
senantiasa mendapat sorotan, kritikan dan kadang menjadi kambing hitam penyebab
berbagai krisis, seperti krisis ekonomi, kepercayaan, moral, yang melanda bangsa
Indonesia saat ini. Mantan Mendiknas,
Muhaimin menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia makin
terpuruk. Dalam laporan Badan PBB untuk
Program Pembangunan (UNDP), disebutkan bahwa kualitas SDM Indonesia berada di
urutan ke-109 dari 174 negara, setingkat lebih tinggi dari Vietnam dan jauh di
bawah negara miskin, Bangladesh.
Malaysia yang pernah ‘mengimpor’ guru dari Indonesia berada di urutan
ke-61, Thailand di urutan ke-67 dan Pilipina di urutan ke-77 (Kompas, 15
Januari 2001).
Hal di atas kemungkinan besar tidak
terlepas dari kenyataan bahwa guru-guru di Indonesia belum memenuhi harapan
bangsa. Data Pusat Informasi Data
Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa guru sekolah dasar yang layak mengajar
(berpendidikan D2, D3 dan S1) baru 38 persen, atau baru sebanyak 442.310 dari
1.141.168 orang guru sekolah dasar.
Ketua Umum PGRI M. Surya (Media Indonesia, 30 Mei 2000) juga mengatakan
bahwa banyak guru SD hingga SLTA yang masih belum layak mengajar. Untuk sekolah dasar, guru SD yang berpendidikan
D2 dan layak mengajar hanya 27%, SLTP yang berpendidikan sekurang-kurangnya D3
52,8% dan SLTA hanya 43,69%. Bagi yang
pendidikannya sudah memenuhi syarat saja, Kepala SMK 3 Padang masih mengeluhkan
sulitnya mencari guru yang berkualitas (Ganto, Oktober 1999).
Meskipun kelayakan mengajar tersebut masih
menjadi perbincangan baik yang pro maupun yang kontra, namun dari sisi
pengalaman guru pun menjadi bahan olokan. Di antaranya, di suatu sekolah
perhotelan para pengajarnya berbicara tentang perhotelan, tetapi mereka belum
pernah masuk hotel, bicara tentang ‘ticketing pay’ pesawat terbang tidak bisa
karena kebiasaan mereka naik kapal laut (Media Indonesia, 3 Februari 2001).
Kondisi ini cukup memprihatinkan,
lebih-lebih lagi hasil penelitian Suyono, dkk. (dalam Akbar, Kajian, 1998)
tentang kualitas guru di berbagai jenjang pendidikan menunjukkan bahwa: (1)
Guru kurang mampu merefleksikan apa yang pernah dilakukan, (2) Dalam
pelaksanaan tugas, guru pada umumnya terpancing untuk memenuhi target minimal,
yaitu agar peserta didik mampu menjawab soal-soal tes dengan baik,(3) Para guru
tampak enggan beralih dari model mengajar yang sudah mereka yakini "
tepat". (4) Guru selalu mengeluh tentang kurang lengkap dan kurang
banyaknya buku paket. Mereka khawatir kalau yang diajarkan tidak sesuai dengan
soal-soal yang akan muncul dalam UUB,TPB, Ebta dan Ebtanas, (5) Kecenderungan
guru dalam melaksanakan tugas mengajar " hanya " memindahkan
informasi dan ilmu pengetahuan saja. Dimensi pengembangan kemampuan berpikir
logis, kritis dan kreatif kurang mendapat perhatian.
Hasil temuan penelitian Semiawan (dalam
Kajian, 1998) menyatakan bahwa kualitas guru yang rendah, mengakibatkan daya
serap peserta didik SD, SLTP, dan SLTA terhadap materi pelajaran yang diterima
hanya sekitar 35%. Tahun 1996 BPPN memberi penilaian kembali, bahwa rendahnya
mutu pendidikan antara lain diakibatkan oleh rendahnya kualitas guru dan
kurangnya jumlah guru pada bidang studi tertentu dan sebaliknya terdapat
kelebihan guru pada bidang tertentu serta pada umumnya guru kurang mampu dalam
mengikuti laju perkembangan IPTEK.
Temuan yang juga mengejutkan dan dinyatakan
‘benar’ oleh Mendiknas Malik Fadjar adalah sistem pendidikan di Indonesia menduduki
posisi juru kunci di lingkungan Asia.
Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang
berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa dari 12 negara kawasan Asia yang
disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan yang terbaik,
disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Indonesia menduduki peringkat ke-12 setingkat
di bawah Vietnam (Kompas, 5 September 2001).
Lebih khusus lagi tentang sistem pendidikan tinggi, data yang disajikan Asia
Week menunjukkan bahwa empat universitas terbaik di Indonesia
–diantara 77 universitas yang disurvei di Asia Pasifik—ternyata menempati
urutan ke 61, ke-68, ke-73 dan ke-75 (Komiter Reformasi Pendidikan, 2001).
PENGHARGAAN
TERHADAP GURU
Guru yang profesional merupakan dambaan
setiap insan pendidikan, sebab dengan guru yang profesional diharapkan
pendidikan menjadi lebih berkualitas.
Namun demikian, apabila penghargaan terhadap guru tersebut tidak memadai,
maka harapan atau idealisme di atas, mungkin hanya menjadi utopia. Surya (Kompas, 29 Juni 2001) menyatakan bahwa
perhatian pemerintah kepada guru masih sebatas ‘retorika’ saja. Hasibuan (Suara Karya, 26 November 1998) menyebutkan bahwa guru banyak dituntut, akan
tetapi penghargaan yang mereka peroleh kurang wajar.
Untuk mendapatkan berpuluh predikat atau
peran guru tersebut di atas, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Hal ini sangat berkait dengan penghargaan
masyarakat atau negara terhadap profesi itu.
Negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia memberikan penghargaan
yang lebih kepada guru dibandingkan dengan Indonesia. Sementara gaji guru (honorer) di sebagian daerah
di Indonesia di bawah UMR (Kompas, 28 April 2000), di Malaysia gaji guru pemula
mencapai kurang lebih enam juta rupiah (Singgalang, 24 April 2001).
Hasil survai di Amerika (dalam Sahertian,
1994) menunjukkan bahwa pekerjaan guru menjadi urutan pertama (31,3%) diikuti jabatan
perawat (27,1%), pegawai pemerintah (19,1%), pedagang (12,8%) dan ahli hukum
(9,7%). Kondisi ini sangat bertolak
belakang dengan di Indonesia, di mana guru atau dosen menjadi pilihan profesi
terakhir setelah pekerjaan lainnya seperti dokter, apoteker, ekonom, hakim,
bankir, wiraswastawan. Yang lebih ‘meninabobokkan’ guru sekarang adalah apabila
pepatah ‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’ tetap menjadi andalan.
Atas dasar temuan dan pengamatan di atas,
nampaknya profesionalisme guru tidak dapat dipisahkan dengan imbalan (gaji)
atau penghargaan yang diperoleh guru. Di
negara-negara maju pekerjaan guru menjadi pilihan utama karena pekerjaan itu
menghasilkan uang yang memadai, sementara di Indonesia menjadi guru menjadi
pilihan terakhir karena gaji kecil, hidup kekurangan dan masih harus menjadi
guru ‘terbang’ ‘Palapa Bulok’ (Padang, Lubuk Alung, Pariaman, Bukittinggi dan
Solok) atau guru jurusan ‘Jabotabek’ dalam rangka menghidupi keluarganya.
Dengan demikian, menjadi guru harus mampu menahan perasaan ‘nelongso’ pada saat
dirinya bergelantungan di bis kota ‘yang mungkin tidak layak jalan lagi’ yang
panas dan penuh sesak (sampai-sampai tangan guru itu panjang sebelah gara-gara
bergelantungan), sementara anak didiknya berada di mobil-mobil BMW atau Escudo
mewah milik ‘nyokabnya’ dengan AC dan musik yang menyejukkan, serta ironisnya,
mereka menertawakan gurunya (dan dalam hatinya mungkin berkata: rasain lu
jadi guru). Perbandingan itu menjadi
lebih ‘njomplang’ (incompatible) apabila yang dibandingkan adalah ‘guru di
desa’ dengan ‘peserta didik di Jakarta’.
PENGENTASAN
NASIB GURU
Dalam menatap kualitas pendidikan secara
sistemik, Zamroni (2000) mengatakan bahwa rendahnya kualitas guru disebabkan
karena faktor guru itu sendiri dan oleh faktor di luar guru. Faktor dari dalam diri guru misalnya,
penguasaan bidang studi, metode pengajaran dan kualitas pendidikan guru. Sedangkan faktor di luar guru seperti sistem
rekrutmen guru, kompensasi guru, status guru di masyarakat, manajemen sekolah,
dukungan masyarakat dan dukungan pemerintah.
Hal di atas mengisyaratkan bahwa dalam
rangka perbaikan nasib guru, peningkatan kualitas guru itu sendiri harus
menjadi prioritas utama. Peranan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan sebagai satu-satunya pencetak guru masih tetap
sangat penting. Peran yang dulunya
dilakukan oleh IKIP dan FKIP, sekarang harus dilakukan oleh universitas mantan
IKIP. Konversi IKIP ke universitas
diharapkan mampu ‘mendongkrak’ kualitas masukan LPTK. Bahkan, kalau dimungkinkan, mahasiswa sebagai
‘raw input’ jalur kependidikan, dipersyaratkan mempunyai IP minimal, misalnya
2,5. Dengan demikian, kualitas pembelajaran
dan out put Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan diharapkan dapat terjamin
kualitasnya. Program sertifikasi guru,
semisal Akta Mengajar, harus dikelola dan dilakukan secara lebih profesional,
sehingga lulusan program tersebut benar-benar kualified dan kesan LPTK hanya
lembaga ‘pemberi stempel mengajar’ dapat dihilangkan. Untuk itu, LPTK perlu kembali memotivasi pengkajian
dan penerapan filsafat-filsafat pendidikan yang berakar dari budaya bangsa
Indonesia, yang sekarang mungkin ‘terlupakan’.
Oreintasi pembentukan ranah calon guru,
hendaknya juga perlu dikembalikan pada keseimbangan antara ranah afektif,
kongnitif dan psikomotor. Pembentukan
moral guru harus diutamakan, sehingga dengan miminjam istilah Tilaar (1992), guru adalah juga seorang 'resi' harus dilakukan
kembali. Artinya bahwa guru adalah orang
yang mempunyai pengetahuan luas, sehingga banyak orang menimba ilmu yang
dikuasainya dan tempat orang bertanya untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya. Di samping menguasai
pengetahuan, resi juga merupakan orang yang memegang teguh nilai-nilai moral
dan agama yang dianutnya. Dengan
demikian, pandangan dan perilaku guru itu tidak akan keluar dari kaidah ilmu,
moral dan agamanya. Kemungkinan ‘maling
teriak maling’ menjadi tidak ada, artinya tidak akan terjadi ‘seorang guru
melarang peserta didiknya nyontek, padahal yang bersangkutan pada waktu kuliah
kebiasaannya juga nyontek’.
Di samping hal di atas, penghargaan
masyarakat, dan tentunya pemerintah terhadap profesi guru perlu
ditingkatkan. Artinya kesejahteraan guru
perlu ditingkatkan. Apabila profesi guru
telah ‘well paid’, maka profesi itu akan menjadi pilihan putra-putri
terbaik bangsa. Di samping itu, karena
pendidikan adalah ‘human investment,’ masyarakat harus sadar bahwa
pendidikan itu mahal, sebagian biaya pendidikan itu adalah untuk guru. Masyarakat tidak harus berbondong-bondong
mencari pendidikan yang gratis. Dengan
pendidikan yang gratis, proses pembelajaran ‘kurang’ berlangsung dengan
optimal.
Di balik harapan pemikiran di atas,
kekhawatiran penulis adalah kalau dalam era otonomi daerah yang dilanjutkan
dengan otonomi pendidikan, yang berarti pemberlakuan Manajemen Berbasis Sekolah
(school-based management) adalah, pejabat daerah dan kepala sekolah
terlebih dahulu memperkaya dirinya sendiri (akibat buruk dari dekonsentrasi,
bukan otonomi), kemudian baru memikirkan rakyat dan guru. Mereka bisa melakukan itu karena mereka
menjadi ‘raja-raja kecil’ di kampung halamannya. Tanda-tanda yang mungkin merupakan kekhawatiran
yang berlebihan adalah ketika wakil rakyat naik di Dewan Perwakilan Rakyat, hal
pertama yang mereka kejar adalah menaikkan ‘kesejahteraan mereka sendiri’
dengan dalih yang sangat ‘lihai’. Di
samping itu juga telah dirasakan, beberapa daerah ‘belum mampu’ membayar uang
rapel gaji guru. Akankah kekhawatiran
penulis yang mungkin berlebihan itu berlanjut.
Kalau begitu, kapan bangsa ini memikirkan sistem pendidikan, guru dan
peserta didik dengan lebih baik?
Menaikkan anggaran pendidikan nasional juga masih harus ‘tarik tambang’
menunggu yang kuat untuk menang!
PENUTUP
Upaya komprehensif, sistimatis dan sistemik
untuk meningkatkan citra guru dan pendidikan yang dikehendaki bangsa perlu
dilakukan, sebab banyak unsur pendidikan lain yang ikut mempengaruhinya,
seperti manajemen pendidikan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat serta keinginan
politik bangsa. Perbaikan sistem
pendidikan telah mulai dilakukan yang semoga dapat membantu ke arah perbaikan
kesejahteraan guru. Namun demikian, hal
itu juga harus tetap diimbangi oleh kemauan guru untuk senantiasa meng-up
date kemampuan dan pengetahuan mereka sehingga kebaruan ilmu yang dimiliki
guru tidak berada di belakang peserta didiknya.
Tugas perguruan tinggi penghasil guru adalah untuk senantiasa
menghasilkan guru terbaik, dengan menseimbangkan apek afektif, kognitif dan
psikomotornya. Ketidak seimbangan dari
ketiga ranah di atas, bisa berarti mengulang kegagalan sistem pendidikan di
Indonesia. Pengkajian filsafat
pendidikan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia perlu digalakkan lagi.
Harapan pada pelaksanaan otonomi daerah dan
manajemen berbasis sekolah hendaknya diimbangi dengan manajemen pendidikan yang
memadai. Personil pengelola pendidikan
hendaknya memperoleh jaminan ‘the right man on the right place’ bukan malah kebebasan daerah untuk
memperpendek yang berarti mempercepat dan mempersubur Korupsi Kolusi dan
Nepotisme. Otonomi hendaknya diartikan
sebagai kebebasan untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan potensi daerah
masing-masing, bukan untuk memindahkan kekuasaan dari ‘pusat’ ke ‘daerah’
(dekonsentrasi). Dengan otonomi daerah,
jalur penghargaan masyarakat (Pemda) terhadap profesi guru diharapkan menjadi
lebih simple. Artinya, manakala
masyarakat (Pemda) menganggap guru merupakan unsur yang sangat penting dalam
peningkatan kualitas pendidikan bangsa, mereka akan memikirkan kualitas dan kesejahteraan
guru di lingkungannya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka menjadi
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, P.S., 1998. Alternatif Perubahan
Pengembangan Guru di Indonesia, Kajian (Online) No. 014, Tahun
IV, September 1998 (http://www.dikti.org,
diakses 20 Februari 2001).
Komite Reformasi Pendidikan. Naskah Akademik Rancangan Undang-undang
Pendidikan Nasional (Online) (http://www.dikti.org,
diakses 21 September 2001).
Ganto, Oktober 1999
Haluan, 13 September 2000
Haluan, 27 Mei 2001
Kompas, 28 April 2000
Kompas, 15 Januari 2001
Kompas, 29 Juni 2001
Kompas, 5 September 2001
(Online) (http://www.dikti.org, diakses 21
September 2001).
Media Indonesia, 30
Mei 2000
Media Indonesia, 3
Februari 2001
Pullias, E.V., dan Young, J. D., (1977). A Teacher is Many Things, Bloomington:
Indiana University Press.
Ruhimat, D.U., ‘Menjadi Guru yang Digugu
dan Ditiru’, Bekal Pembina No. 125/XI/2000, pp. 14-15.
Sahertian, P.A., 1994, Profil Pendidik
Profesional. Yogyakarta: Andi
Offset.
Singgalang, 24
April 2001
Suara Karya, 26
November 1998.
Tilaar, H.A.R. 1992. Manajemen
pendidikan nasional, kajian pendidikan masa depan. Remadja Rosdakarya, Bandung.
Zamroni, 2000. Paradigma
Pendidikan Masa Depan Biograf
Publishing, Yogyakarta.