Sunday, September 23, 2012

MENGENTASKAN NASIB GURU DAN SISTEM PENDIDIKAN DI INDONESIA, Kapankah?

 Oleh: Hadiyanto

It is unquestionable that teachers in Indonesia have a bundle of jobs, so that they are called ‘a hero without emblem’.  However, the appreciation of the nation to them is quite low, especially when it is compared to that in another nation.  As a result, teacher profession does not attrack best young Indonesians. 
The attemp to improve the situation actually has been started; however there are still many obstacles stay behind.  The educational autonomy which leads to school-based management is expected as an educational reform to create better educational management and to change the proverb to be ‘teacher is a hero with full of emblem.




PENDAHULUAN
Upaya meningkatkan kualitas pendidikan membutuhkan waktu yang panjang, serangkaian proses yang teratur dan sistematis, karena terkait dengan berbagai aspek kehidupan bangsa.  Kualitas pendidikan tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman, misalnya tuntutan otonomi pendidikan, kebutuhan masyarakat dan perlu sesuai dengan jiwa otonomi daerah dalam mengelola sumber daya di masa depan.
Perkembangan jaman yang makin pesat membawa perubahan alam pikir manusia, termasuk di dalamnya perubahan paradigma dalam peningkatan kualitas pendidikan.  Zamroni (2000) menyebutkan bahwa karena perubahan sosial yang sangat cepat, menuntut adanya paradigma baru dunia pendidikan, yaitu pandangan holistik.  Artinya, pendidikan akan menekankan pada pendekatan yang menyeluruh dan bersifat global.  Pandangan ini membawa implikasi bahwa: 1) pendidikan akan menekankan pada anak didik berpikir global dan bertindak secara lokal, 2) pembaharuan makna efisiensi, yakni tidak semata-mata bermakna ekonomis, akan tetapi meliputi keharmonisan dengan lingkungan, solidaritas dan kebaikan untuk semua.  Dengan demikian pendidikan akan menekankan pada anak didik untuk: 1) memiliki kemampuan mendekati permasalahan secara global dengan pendekatan multi disipliner, 2) menyeleksi arus informasi yang demikian deras untuk kemudian dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, 3) menghubungkan peristiwa yang satu dengan yang lain secara kreatif, 4) meningkatkan kemandirian anak karena tingkat otonomi kehidupan pribadi dan keluarga semakin tinggi, 5) menekankan pengajaran lebih pada ‘learning how to learn’ daripada ‘learning something’.
Berdasarkan beberapa hal di atas, jelaslah bahwa pendidikan, lebih khusus lagi lembaga persekolahan, mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dan berat dalam menyiapkan peserta didik yang berkualitas. Lebih khusus lagi guru dituntut untuk senantiasa ‘lebih up to date’ dibandingkan dengan peserta didiknya, sehingga pengetahuan dan informasi yang mereka punyai tetap ‘lebih’ bila dibandingkan dengan peserta didiknya.
GURU YANG IDEAL DAN EFEKTIF
Untuk menciptakan peserta didik yang berkualitas, guru dituntut untuk menjadi guru yang ideal dan efektif.  Masyarakat mengharapkan agar ‘guru’ adalah sosok yang dapat ‘digugu’ dan ‘ditiru’ (Bekal Pembina, 2000) –meskipun hal itu sekarang dipertanyakan (Haluan, 13 September 2000), supaya menjadi panutan, guru harus senantiasa menambah ilmu pengetahuan dan wawasan (Haluan, 27 Mei 2001), oleh karena itu, guru harus senantiasa mendapat pelatihan (Kompas, 3 Februai 2001). 
Hasil wawancara penulis dengan guru-guru sekolah dasar, sekolah menengah di Padang, Padang Panjang, Agam, Bukittinggi serta para dosen menunjukkan bahwa guru di Indonesia sebaiknya mampu memainkan banyak peran (multi function), yaitu: 1) Berkualifikasi pendidikan yang memadai (sesuai dengan jenjang pendidikan di mana guru mengajar), 2) Mempunyai visi dan misi sebagai guru, 3) Mampu mentransfer ilmunya kepada peserta didik, 4) Mampu merubah sikap atau mempengaruhi dan memotivasi peserta didik, 5) Sesuai dengan bidang/ kompetensinya, 6) Mampu menguasai kelas, 7) Menguasai materi pelajaran, 8) Menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi, 9) Berwawasan luas, 10) Berkomunikasi dengan baik (bahasa baku, suara, logat, dan ekspresi yang tepat), 11) Human relation yang tepat (supel), 12) Sehat jasmani dan rohani, 13) Bermoral, 14) Berbudi pekerti luhur, 15) Bertanggung jawab, 16) Disiplin, 17) Berdedikasi tinggi, 18) Berwibawa, 19) Berjiwa besar, 20) Berjiwa sosial, 21) Jujur, 22) Adil, 23) Arif (bijaksana), 24) Dapat dipercaya, 25) Percaya diri, 26) Tegas, 27) Sabar, 28) Ramah, 29) Kreatif, 30) Inovatif, 31) Optimistis, 31) Mandiri, 32) Demokratis, 34) Humoris, 35) Disenangi peserta didik, 36) Berperikemanusiaan, 37) Mampu bekerja sama engan baik, 38) Mempunyai prakarsa, 39) Berpenampilan menarik (pakaian, rambut, make up, serta gerak-gerik), 40) Menjadi suri teladan bagi peserta didik.
Berdasarkan beberapa temuan di atas, sebenarnya guru dituntut untuk menguasai kompetensi mereka sebagai guru, di samping sebagai anggota masyarakat dan warga negara yang baik.  Pada bagian berikut akan disajikan beberapa pendapat para ahli tentang kompetensi atau peran dan bahkan harapan yang dapat dilakukan oleh guru.  Meskipun sebagian kompetensi dan peran itu sulit dilakukan dan sangat ideal, namun itulah harapan masyarakat tentang guru.
Watten B. (dalam Sahertian, 1994) mengemukakan empat belas peran yang dapat dilakukan guru, yaitu sebagai: 1) Tokoh terhormat dalam masyarakat, karena guru nampak sebagai seorang yang berwibawa, 2) Penilai, karena memberi pemikiran, 3) Sumber, karena memberi ilmu pengetahuan, 4) Pembantu, 5) Wasit, 6) Detektif, 7) Objek identifikasi, 8) Penyangga rasa takut, 9) Penolong dalam memahami diri sendiri, 10) Pemimpin kelompok, 11) Orang tua/wali, 12) Pembina dan pemberi layanan, 13) Kawan sekerja, 14) Pembawa rasa kasih sayang,
Lebih lanjut Oliva (dalam Sahertian, 1994) mengemukakan sepuluh peran guru, yaitu sebagai: 1) Penceramah, 2) Nara sumber, 3) Fasilitator, 4) Konselor, 5) Pemimpin kelompok, 6) Tutor, 7) Manajer, 8) Kepala laboratorium, 9) Perancang program, 10) Manipulator, untuk mengubah situasi pembelajaran menjadi lebih baik,
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Pullias dan Young (1977) mengemukakan bahwa guru itu hendaknya dapat berperan sebagai: 1) Pembimbing (a guide), 2) Guru (a teacher), 3) Modernis, perantara antar generasi (a bridge between generations), 4) Model (a model), 5) Peneliti (a searcher), 6) Konselor (a counselor), 7) Pencipta (a creator), 8) Empunya kekuasaan, dalam ilmu pengetahuan (an authority), 9) Pemberi inspirasi (an inspirer of vision), 10) Pekerja rutin (a doer of routine), 11) Perantara (a breaker of camp), 12) Pembawa cerita (a story teller), 13) Aktor (an actor), 14) Pembuat disain sekenario (a scene designer), 15) Pembina masyarakat (a builder of community), 16) Peserta didik (a learner), 17) Penerima realitas (a facer of reality), 18) Pengikut (emancipator), 19) Pengevaluasi (an evaluator), 20) Pengubah (a conserver), 21) Peraih cita-cita/puncak  (a culminator), 22) Manusia biasa (a person).
Dengan mengutip pendapat Davis dan Thomas, dan menyebutnya sebagai guru yang efektif, Suyanto (Kompas, 16 Februari 2001) mengemukakan empat kelompok ciri-ciri yang harus dilakukan oleh guru, yaitu memiliki kemampuan yang terkait dengan: 1) iklim belajar di kelas, 2) strategi pembelajaran, 3) pemberian umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), dan 4) peningkatan diri. 
Dari beberapa pengamatan dan kutipan di atas, maka dapat diketahui bahwa banyak sekali kompetensi, peran dan bahkan harapan masyarakat tentang guru.  Namun dalam kenyataannya, penghargaan masyarakat terhadap guru, terutama di Indonesia belumlah seperti yang diharapkan, untuk tidak mengatakan ‘masih sangat menyedihkan’.
REALITA KUALITAS GURU
Kualitas guru sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kualitas sistem pendidikannya, sehingga dunia pendidikan di Indonesia ternyata senantiasa mendapat sorotan, kritikan dan kadang menjadi kambing hitam penyebab berbagai krisis, seperti krisis ekonomi, kepercayaan, moral, yang melanda bangsa Indonesia saat ini.  Mantan Mendiknas, Muhaimin menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia makin terpuruk.  Dalam laporan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP), disebutkan bahwa kualitas SDM Indonesia berada di urutan ke-109 dari 174 negara, setingkat lebih tinggi dari Vietnam dan jauh di bawah negara miskin, Bangladesh.  Malaysia yang pernah ‘mengimpor’ guru dari Indonesia berada di urutan ke-61, Thailand di urutan ke-67 dan Pilipina di urutan ke-77 (Kompas, 15 Januari 2001).
Hal di atas kemungkinan besar tidak terlepas dari kenyataan bahwa guru-guru di Indonesia belum memenuhi harapan bangsa.  Data Pusat Informasi Data Balitbang Depdiknas menunjukkan bahwa guru sekolah dasar yang layak mengajar (berpendidikan D2, D3 dan S1) baru 38 persen, atau baru sebanyak 442.310 dari 1.141.168 orang guru sekolah dasar.  Ketua Umum PGRI M. Surya (Media Indonesia, 30 Mei 2000) juga mengatakan bahwa banyak guru SD hingga SLTA yang masih belum layak mengajar.  Untuk sekolah dasar, guru SD yang berpendidikan D2 dan layak mengajar hanya 27%, SLTP yang berpendidikan sekurang-kurangnya D3 52,8% dan SLTA hanya 43,69%.  Bagi yang pendidikannya sudah memenuhi syarat saja, Kepala SMK 3 Padang masih mengeluhkan sulitnya mencari guru yang berkualitas (Ganto, Oktober 1999).
Meskipun kelayakan mengajar tersebut masih menjadi perbincangan baik yang pro maupun yang kontra, namun dari sisi pengalaman guru pun menjadi bahan olokan. Di antaranya, di suatu sekolah perhotelan para pengajarnya berbicara tentang perhotelan, tetapi mereka belum pernah masuk hotel, bicara tentang ‘ticketing pay’ pesawat terbang tidak bisa karena kebiasaan mereka naik kapal laut (Media Indonesia, 3 Februari 2001).
Kondisi ini cukup memprihatinkan, lebih-lebih lagi hasil penelitian Suyono, dkk. (dalam Akbar, Kajian, 1998) tentang kualitas guru di berbagai jenjang pendidikan menunjukkan bahwa: (1) Guru kurang mampu merefleksikan apa yang pernah dilakukan, (2) Dalam pelaksanaan tugas, guru pada umumnya terpancing untuk memenuhi target minimal, yaitu agar peserta didik mampu menjawab soal-soal tes dengan baik,(3) Para guru tampak enggan beralih dari model mengajar yang sudah mereka yakini " tepat". (4) Guru selalu mengeluh tentang kurang lengkap dan kurang banyaknya buku paket. Mereka khawatir kalau yang diajarkan tidak sesuai dengan soal-soal yang akan muncul dalam UUB,TPB, Ebta dan Ebtanas, (5) Kecenderungan guru dalam melaksanakan tugas mengajar " hanya " memindahkan informasi dan ilmu pengetahuan saja. Dimensi pengembangan kemampuan berpikir logis, kritis dan kreatif kurang mendapat perhatian.
Hasil temuan penelitian Semiawan (dalam Kajian, 1998) menyatakan bahwa kualitas guru yang rendah, mengakibatkan daya serap peserta didik SD, SLTP, dan SLTA terhadap materi pelajaran yang diterima hanya sekitar 35%. Tahun 1996 BPPN memberi penilaian kembali, bahwa rendahnya mutu pendidikan antara lain diakibatkan oleh rendahnya kualitas guru dan kurangnya jumlah guru pada bidang studi tertentu dan sebaliknya terdapat kelebihan guru pada bidang tertentu serta pada umumnya guru kurang mampu dalam mengikuti laju perkembangan IPTEK.
Temuan yang juga mengejutkan dan dinyatakan ‘benar’ oleh Mendiknas Malik Fadjar adalah sistem pendidikan di Indonesia menduduki posisi juru kunci di lingkungan Asia.  Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong menunjukkan bahwa dari 12 negara kawasan Asia yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan yang terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia.  Indonesia menduduki peringkat ke-12 setingkat di bawah Vietnam (Kompas, 5 September 2001).  Lebih khusus lagi tentang sistem pendidikan tinggi, data yang disajikan Asia Week menunjukkan bahwa empat universitas terbaik di Indonesia –diantara 77 universitas yang disurvei di Asia Pasifik—ternyata menempati urutan ke 61, ke-68, ke-73 dan ke-75 (Komiter Reformasi Pendidikan, 2001).
PENGHARGAAN TERHADAP GURU
Guru yang profesional merupakan dambaan setiap insan pendidikan, sebab dengan guru yang profesional diharapkan pendidikan menjadi lebih berkualitas.  Namun demikian, apabila penghargaan terhadap guru tersebut tidak memadai, maka harapan atau idealisme di atas, mungkin hanya menjadi utopia.  Surya (Kompas, 29 Juni 2001) menyatakan bahwa perhatian pemerintah kepada guru masih sebatas ‘retorika’ saja.  Hasibuan (Suara Karya, 26 November 1998)  menyebutkan bahwa guru banyak dituntut, akan tetapi penghargaan yang mereka peroleh kurang wajar.
Untuk mendapatkan berpuluh predikat atau peran guru tersebut di atas, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah.  Hal ini sangat berkait dengan penghargaan masyarakat atau negara terhadap profesi itu.  Negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia memberikan penghargaan yang lebih kepada guru dibandingkan dengan Indonesia.  Sementara gaji guru (honorer) di sebagian daerah di Indonesia di bawah UMR (Kompas, 28 April 2000), di Malaysia gaji guru pemula mencapai kurang lebih enam juta rupiah (Singgalang, 24 April 2001). 
Hasil survai di Amerika (dalam Sahertian, 1994) menunjukkan bahwa pekerjaan guru menjadi urutan pertama (31,3%) diikuti jabatan perawat (27,1%), pegawai pemerintah (19,1%), pedagang (12,8%) dan ahli hukum (9,7%).  Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan di Indonesia, di mana guru atau dosen menjadi pilihan profesi terakhir setelah pekerjaan lainnya seperti dokter, apoteker, ekonom, hakim, bankir, wiraswastawan. Yang lebih ‘meninabobokkan’ guru sekarang adalah apabila pepatah ‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’ tetap menjadi andalan. 
Atas dasar temuan dan pengamatan di atas, nampaknya profesionalisme guru tidak dapat dipisahkan dengan imbalan (gaji) atau penghargaan yang diperoleh guru.  Di negara-negara maju pekerjaan guru menjadi pilihan utama karena pekerjaan itu menghasilkan uang yang memadai, sementara di Indonesia menjadi guru menjadi pilihan terakhir karena gaji kecil, hidup kekurangan dan masih harus menjadi guru ‘terbang’ ‘Palapa Bulok’ (Padang, Lubuk Alung, Pariaman, Bukittinggi dan Solok) atau guru jurusan ‘Jabotabek’ dalam rangka menghidupi keluarganya. Dengan demikian, menjadi guru harus mampu menahan perasaan ‘nelongso’ pada saat dirinya bergelantungan di bis kota ‘yang mungkin tidak layak jalan lagi’ yang panas dan penuh sesak (sampai-sampai tangan guru itu panjang sebelah gara-gara bergelantungan), sementara anak didiknya berada di mobil-mobil BMW atau Escudo mewah milik ‘nyokabnya’ dengan AC dan musik yang menyejukkan, serta ironisnya, mereka menertawakan gurunya (dan dalam hatinya mungkin berkata: rasain lu jadi guru).  Perbandingan itu menjadi lebih ‘njomplang’ (incompatible) apabila yang dibandingkan adalah ‘guru di desa’ dengan ‘peserta didik di Jakarta’.
PENGENTASAN NASIB GURU
Dalam menatap kualitas pendidikan secara sistemik, Zamroni (2000) mengatakan bahwa rendahnya kualitas guru disebabkan karena faktor guru itu sendiri dan oleh faktor di luar guru.  Faktor dari dalam diri guru misalnya, penguasaan bidang studi, metode pengajaran dan kualitas pendidikan guru.  Sedangkan faktor di luar guru seperti sistem rekrutmen guru, kompensasi guru, status guru di masyarakat, manajemen sekolah, dukungan masyarakat dan dukungan pemerintah.
Hal di atas mengisyaratkan bahwa dalam rangka perbaikan nasib guru, peningkatan kualitas guru itu sendiri harus menjadi prioritas utama.  Peranan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan sebagai satu-satunya pencetak guru masih tetap sangat penting.  Peran yang dulunya dilakukan oleh IKIP dan FKIP, sekarang harus dilakukan oleh universitas mantan IKIP.  Konversi IKIP ke universitas diharapkan mampu ‘mendongkrak’ kualitas masukan LPTK.  Bahkan, kalau dimungkinkan, mahasiswa sebagai ‘raw input’ jalur kependidikan, dipersyaratkan mempunyai IP minimal, misalnya 2,5.  Dengan demikian, kualitas pembelajaran dan out put Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan diharapkan dapat terjamin kualitasnya.  Program sertifikasi guru, semisal Akta Mengajar, harus dikelola dan dilakukan secara lebih profesional, sehingga lulusan program tersebut benar-benar kualified dan kesan LPTK hanya lembaga ‘pemberi stempel mengajar’ dapat dihilangkan.  Untuk itu, LPTK perlu kembali memotivasi pengkajian dan penerapan filsafat-filsafat pendidikan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia, yang sekarang mungkin ‘terlupakan’.
Oreintasi pembentukan ranah calon guru, hendaknya juga perlu dikembalikan pada keseimbangan antara ranah afektif, kongnitif dan psikomotor.  Pembentukan moral guru harus diutamakan, sehingga dengan miminjam istilah Tilaar (1992), guru adalah juga seorang 'resi' harus dilakukan kembali.  Artinya bahwa guru adalah orang yang mempunyai pengetahuan luas, sehingga banyak orang menimba ilmu yang dikuasainya dan tempat orang bertanya untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.  Di samping menguasai pengetahuan, resi juga merupakan orang yang memegang teguh nilai-nilai moral dan agama yang dianutnya.  Dengan demikian, pandangan dan perilaku guru itu tidak akan keluar dari kaidah ilmu, moral dan agamanya.  Kemungkinan ‘maling teriak maling’ menjadi tidak ada, artinya tidak akan terjadi ‘seorang guru melarang peserta didiknya nyontek, padahal yang bersangkutan pada waktu kuliah kebiasaannya juga nyontek’.
Di samping hal di atas, penghargaan masyarakat, dan tentunya pemerintah terhadap profesi guru perlu ditingkatkan.  Artinya kesejahteraan guru perlu ditingkatkan.  Apabila profesi guru telah ‘well paid’, maka profesi itu akan menjadi pilihan putra-putri terbaik bangsa.  Di samping itu, karena pendidikan adalah ‘human investment,’ masyarakat harus sadar bahwa pendidikan itu mahal, sebagian biaya pendidikan itu adalah untuk guru.  Masyarakat tidak harus berbondong-bondong mencari pendidikan yang gratis.  Dengan pendidikan yang gratis, proses pembelajaran ‘kurang’ berlangsung dengan optimal.
Di balik harapan pemikiran di atas, kekhawatiran penulis adalah kalau dalam era otonomi daerah yang dilanjutkan dengan otonomi pendidikan, yang berarti pemberlakuan Manajemen Berbasis Sekolah (school-based management) adalah, pejabat daerah dan kepala sekolah terlebih dahulu memperkaya dirinya sendiri (akibat buruk dari dekonsentrasi, bukan otonomi), kemudian baru memikirkan rakyat dan guru.  Mereka bisa melakukan itu karena mereka menjadi ‘raja-raja kecil’ di kampung halamannya.  Tanda-tanda yang mungkin merupakan kekhawatiran yang berlebihan adalah ketika wakil rakyat naik di Dewan Perwakilan Rakyat, hal pertama yang mereka kejar adalah menaikkan ‘kesejahteraan mereka sendiri’ dengan dalih yang sangat ‘lihai’.  Di samping itu juga telah dirasakan, beberapa daerah ‘belum mampu’ membayar uang rapel gaji guru.  Akankah kekhawatiran penulis yang mungkin berlebihan itu berlanjut.  Kalau begitu, kapan bangsa ini memikirkan sistem pendidikan, guru dan peserta didik dengan lebih baik?  Menaikkan anggaran pendidikan nasional juga masih harus ‘tarik tambang’ menunggu yang kuat untuk menang!
PENUTUP
Upaya komprehensif, sistimatis dan sistemik untuk meningkatkan citra guru dan pendidikan yang dikehendaki bangsa perlu dilakukan, sebab banyak unsur pendidikan lain yang ikut mempengaruhinya, seperti manajemen pendidikan, kondisi sosial-ekonomi masyarakat serta keinginan politik bangsa.  Perbaikan sistem pendidikan telah mulai dilakukan yang semoga dapat membantu ke arah perbaikan kesejahteraan guru.  Namun demikian, hal itu juga harus tetap diimbangi oleh kemauan guru untuk senantiasa meng-up date kemampuan dan pengetahuan mereka sehingga kebaruan ilmu yang dimiliki guru tidak berada di belakang peserta didiknya.  Tugas perguruan tinggi penghasil guru adalah untuk senantiasa menghasilkan guru terbaik, dengan menseimbangkan apek afektif, kognitif dan psikomotornya.  Ketidak seimbangan dari ketiga ranah di atas, bisa berarti mengulang kegagalan sistem pendidikan di Indonesia.  Pengkajian filsafat pendidikan yang berakar dari budaya bangsa Indonesia perlu digalakkan lagi.
Harapan pada pelaksanaan otonomi daerah dan manajemen berbasis sekolah hendaknya diimbangi dengan manajemen pendidikan yang memadai.  Personil pengelola pendidikan hendaknya memperoleh jaminan ‘the right man on the right place’  bukan malah kebebasan daerah untuk memperpendek yang berarti mempercepat dan mempersubur Korupsi Kolusi dan Nepotisme.  Otonomi hendaknya diartikan sebagai kebebasan untuk melakukan yang terbaik sesuai dengan potensi daerah masing-masing, bukan untuk memindahkan kekuasaan dari ‘pusat’ ke ‘daerah’ (dekonsentrasi).  Dengan otonomi daerah, jalur penghargaan masyarakat (Pemda) terhadap profesi guru diharapkan menjadi lebih simple.  Artinya, manakala masyarakat (Pemda) menganggap guru merupakan unsur yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pendidikan bangsa, mereka akan memikirkan kualitas dan kesejahteraan guru di lingkungannya yang pada akhirnya akan membuat anak-anak mereka menjadi lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, P.S., 1998. Alternatif Perubahan Pengembangan Guru di Indonesia, Kajian (Online) No. 014, Tahun IV, September 1998 (http://www.dikti.org, diakses 20 Februari 2001).
Komite Reformasi Pendidikan.  Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Pendidikan Nasional (Online) (http://www.dikti.org, diakses 21 September 2001).
Ganto,  Oktober 1999
Haluan, 13 September 2000
Haluan, 27 Mei 2001
Kompas, 28 April 2000
Kompas, 15 Januari 2001
Kompas, 29 Juni 2001
Kompas, 5 September 2001 (Online) (http://www.dikti.org, diakses 21 September 2001).
Media Indonesia, 30 Mei 2000
Media Indonesia, 3 Februari 2001
Pullias, E.V., dan Young, J. D., (1977). A Teacher is Many Things, Bloomington: Indiana University Press.
Ruhimat, D.U., ‘Menjadi Guru yang Digugu dan Ditiru’, Bekal Pembina No. 125/XI/2000, pp. 14-15.
Sahertian, P.A., 1994, Profil Pendidik Profesional.  Yogyakarta: Andi Offset.
Singgalang, 24 April 2001
Suara Karya, 26 November 1998.
Tilaar, H.A.R. 1992. Manajemen pendidikan nasional, kajian pendidikan masa depan.  Remadja Rosdakarya, Bandung.
Zamroni, 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan  Biograf Publishing, Yogyakarta.